Perkenalkan
nama saya supardin, biasa disapa adin saya anak pertama dari lima bersaudara.
Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana, walaupun demikian saya memiliki
motivasi yang sangat besar dalam hal dunia pendidikan. perjuangan saya bisa
dikatakan sangat ekstrim, dan penuh tantangan bukan berati perjuangan saya
menjadi pupus, justru hal tersebut yang membuat saya kian semangat.
Kepahitan
itu kian membuat kehidupan keluarga ku terpukul, setelah ayah ku pergi
meninggalkan kami semua, tentu semua tanggung jawab dibebankan kepada ibu.
Mengingat usia kami yang masih sangat kecil dan masih membutuhkan kasih sayang.
Seiring
berjalanya waktu dan usiaku pun kian bertambah, kini aku berumur 7 tahun tentu
di umur seperti itu sudah selayaknya aku harus mulai masuk dunia pendidikan
sekolah dasar, melihat kehidupan keluarga yang kian memburuk membuat ku kian
giat menuntut ilmu. Demi satu tujuan yaitu ingin membahagiakan ibu ku.
Waktu terus
bergulir dan kini aku pun naik ke kelas dua sekolah dasar. Tentu biaya kian
tahun makin bertambah, maklum pada saat itu belum ada program wajib belajar
Sembilan tahun. ibu ku pun kian semakin kesulitan untuk membiayaiku. Bahkan
sempat terdengar di telingaku perkataan ibu ku yang menginginkan agar aku
berhenti sekolah, karena tak sanggup lagi dengan biaya yang semakin bertambah,
hal terebut tentu membuatku kian terpukul.
Senada ibu
pun mngatakan “Nak… maafkan ketidaksanggupan ibu dalam mengurus kamu, ibu rasa
perjuangan mu untuk menimba ilmu cukup sampai disini, ibu tidak memiliki
apa-apa sekarang. Jadi maafkan ibu”.
Mendengar hal tersebut membuat ku terhenyak sejenak, terlintas di pikiran ku
akankah semua ini akan berakhir..?
Mendengar
hal tersebut tentu membuat sanak keluarga ku merasa empati kepada keadaan ku,
merasa tidak ingin aku putus sekolah aku pun dibawa keluar kota. tante NAFSIA
lah yang membawa ku dan membiayai semua kebutuhan ku. Meski demikian bukan
berati aku bisa bersantai, maklum sebaik-baiknya seorang tante tidak lah lebih
baik dari seorang ibu.
Hari yang
dinantikan pun tiba, tepatnya pada tanggal 22 november 1997 aku didaftarkan di
SDN REO II. Sebuah sekolah dasar negeri yang berada di kecamatan REOK dan
berkabupaten MANGGARAI, hari pun telah berganti waktu terus bergulir aku mulai
masuk sekolah di hari pertama ku di sekolah baru. Rasa gembira pun terpancar di
raut wajah ku, menggingat aku dapat melanjutkan sekolah ku.
Lonceng
sekolah pun berbunyi menandakan waktu pelajaran usai, aku pun berkemas dan
bergegas meninggalkan ruangan, untuk segera pulang bersama teman baru ku.
Sesampai di
rumah akupun langsung di suguhkan dengan sebuah baskom kecil yang berisikan kue
lemet.
“Din hari ini kamu mulai berjualan kue, ini kuenya dan skarang juga kamu mulai
berjualan”
“tapi tante saya kan belum makan, bisa kah saya berjualan setelah makan..?”
“oh.. tentu silakan .. tapi jangan lama ya.. makannya..”
“ia tante..”
Setelah
makan aku pun bergegas untuk berjualan, langkah demi langkah aku menatih kan
kaki ku, bersuara kan merdu bertedu kan mata hari yang cukup panas, soalnya aku
berjualan tepat pada pukul 14:00 tentu cuaca masih panas.. badan bercucuran
keringat dan aku pun mulai bersuara lantang.
“Bu, Kue.. kue.. bu kue bu..”
Waktu pu
kian semakin sore, kue pun semua habis, dengan hati yang amat senang aku pun
bergegas untuk pulang. Dan memberikan semua uang hasil jualan ku hari ini
kepada tante ku.. itulah kegiatan sehari-hari ku setelah sepulang sekolah..
Waktu
bergulir sangat cepat dan sekarang aku sudah lulus dan ingin melanjutkan
pendidikan ku ketingkat SLTP, aku pun mulai mendaftarkan diri hati ku pun kian
bertambah senang dapat melanjutkan sekolah.. dengan semangat aku kian giat
belajar, agar dapat naik kelas alhasil usaha ku rupanya tak sia-sia, aku dapat
naik ke kelas berikutnya, sampai akhirnya lulus pada tahun 2005 dan mendapat
kan nilai yang sangat memuaskan.
Setelah
lulus SLTP, aku pun ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Tapi sayang harapan itu hampir sirna akibat tante ku tak dapat melanjutkan ku
ke tingkat SMA, dikarenakan suaminya mengalami kecelakaan kerja dan harus
membutuh kan biaya yang cukup banyak untuk keperluan pengobatan Dan lain lain.
Aku pun
kembali di belit cobaan yang amat berat, dengan hati yang amat sedih aku pun
menerima dengan hati yang lapang. Dalam hati kecil terucap akankah ini semua
akan berahir sampai disini..?
Karena
keadaan yang tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan sekolah aku pun kembali
ke kampung halaman ku. Setelah di kampung akupun mulai memikirkan bagaimana
caranya agar aku dapat melanjutkan pendidikanku. Sebab aku memiliki impian yang
sangat besar dalam dunia pendidikan. Karena merasa iBu ku sudah tak sanggup
lagi membiayai ku. Aku pun mulai meencari pekerjaan, apapun itu yang terpenting
aku dapat bersekolah kembali..
TRUE LOVE
Aku pernah bermimpi berdiri di belakang meja panjang —berisi deretan kaleng
besar, kocokan, cangkir, gelas, poci, dan
bush
kettle— dengan kedua tangan menari bersama mesin. Memandangi serbuk hitam
itu sembari
menghirup aroma sedapnya yang menempel di
setiap dinding kafe. Aku pernah bermimpi menjadi seorang peramu kopi, sebut
saja barista.
K-o-p-i. Sudah ribuan kali aku memikirkan sihir apa yang dimiliki serbuk hitam
beraroma sedap itu —yang kerap kali membuatku tergila-gila. Satu kata yang membuatku
kalap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat caffe
latte,
cappuccino,
espresso, Russian
coffee,
irish coffee, macchiato, dan yang lainnya.
Membuka kedai kopi sendiri, aku sudah memikirkannya sejak
lama. Namun beberapa pertimbangan kembali menyurutkan
niatku. Salah satunya adalah karena restu orangtua —yang satu ini aku tidak
mendapatkannya. Kedua orangtuaku beranggapan bahwa seorang wanita sangatlah
tidak cocok menjadi
barista. Aku benar-benar
tidak setuju, memangnya apa masalahnya?
Tapi, kembali lagi, restu orangtua adalah restu Sang Khalik.
Katakan padaku, sekarang aku harus bagaimana?
—
Aku pernah bermimpi, sebelah tanganku memegang cangkir berisi foam dan
tangan yang lainnya menggenggam lengan cangkir berisi kopi. Dan dengan
kemampuan juga kelihaian tanganku, menciptakan latte art yang berbeda di setiap
cangkirnya. Lihatlah, wahai Ayah, Ibu, seorang barista juga mengenal seni.
Tapi, Ayah, apabila aku ditanya kopi apa yang paling kusuka, maka aku akan
langsung menjawab: “Aku menyukai kopi tubruk.”
Dan apabila Ayah menanyaiku ‘mengapa?’ maka akan kujawab sambil tersenyum
membayangkan aroma kopi tubruk yang menimbulkan candu untukku: “Sederhana,
lugu, tapi memikat. Terutama aromanya.”
Aku pernah membayangkan bagaimana Ayah akan datang ke kedai kopi milikku saat
makan siang tiba. Kemudian Ayah akan memintaku untuk meramukan secangkir
cappuccino dengan dark rosetta sebagai latte art-nya. Ayah akan menyukainya,
bukan?
Dengan dua cangkir kopi yang masing-masing berisi cappuccino dan kopi tubruk,
kita akan menyesap kopi bersama-sama, membicarakan tentang hal-hal yang akan
menghangatkan suasana sampai sore tiba.
Tahukah Ayah, bahwa ketika kita saling bercerita kita akan semakin dekat?
Berawal dari kopi, Ayah. Kopi juga bisa membuat hubungan kita menjadi lebih
dekat.
Bukankah itu bagus, Ayah?
—
Aku pernah bermimpi, ketika Ibu berkumpul bersama teman lama lalu
membicarakan tentang anaknya masing-masing. Ketika yang lainnya sibuk memuji
anaknya, Ibu akan tersenyum karena mengingatku. Mengingatku yang tersenyum
dibalik mesin kopi dan dengan kedua tangan membuat buih yang mengapung di
atasnya.
Lalu aku akan berteriak lantang, “Ibu, kopinya sudah siap! Oh, ya, aku membuat
bentuk baru hari ini, apakah Ibu ingin melihatnya?”
Kemudian teman-teman Ibu akan bertanya, apakah aku membuat Ibu bangga? Dengan
mantap, Ibu akan menjawab, “Dia berbeda dengan caranya —bayangkan, dia adalah
seorang barista. Dia mahir meracik kopi, dan aku amat bangga padanya.”
Tahukah Ibu, berbeda itu istimewa? Aku ingin menjadi berbeda dengan caraku,
Ibu. Menjadi seorang barista juga bukan hal yang tabu, justru dengan itu aku
bisa menjadi istimewa —karena aku berbeda.
Benar, kan, Bu?
—
Hari itu, aku bermimpi bertemu dengan seorang barista andal bernama Aiden.
Dia yang menemukan terobosan baru, menjadikan salah satu kedai kopi di kotaku
sebagai magnet baru. Aiden membuatku penasaran, dia benar-benar seperti magnet.
Malam berikutnya, aku bertekad untuk mengunjungi kedai kopi miliknya. Aku ingin
berbincang lebih dalam dengannya, mengenai kopi —tentu saja. Sudah kuduga, aku
akan kesulitan mencari waktu yang tepat karena Aiden sangat sibuk sepanjang
hari.
Akhirnya kami sepakat, pukul sepuluh malam. Itu kali pertamanya aku minum kopi
panas dengannya. Dengan Aiden, Si Barista Andal.
—
Saat aku datang, kafe sudah sepi. Hanya ada dua pelanggan yang masih duduk
di kursi masing-masing. Salah seorang di antaranya tampak sedang mengobrol
dengan Aiden. Yang kulihat di sini, Aiden adalah orang yang ramah. Aku
bersyukur tentang satu hal itu.
Mendengar pertanyaan pelanggan itu, aku tersenyum. Pelanggan itu bertanya, “Apa
ciri khas cappuccino?” Jawabannya mudah saja, penampilannya. Meski
penampilannya cukup mirip dengan caffe latte, untuk cappuccino memang
dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. Mengapa? Karena seorang penikmat
cappuccino sejati, akan memerhatikan penampilannya. Apabila tidak terkonsep,
bisa memengaruhi suasana hati penikmatnya. Itu opiniku.
Beberapa menit berikutnya, aku sudah duduk dengan kopi panas yang masih
mengepul uapnya bersama Aiden. Mataku mengedarkan pandangan, lantai dan dinding
kafe tersebut terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar. Di sepanjang dinding
kafe ditempeli poster-poster kopi dengan bermacam pose. Puncaknya, sebuah plat
besar yang menempel di dekat meja panjang barista, yang berisi tulisan model
lama menggunakan Bahasa Belanda:
Adn Koffie
Keningku berkerut samar. Adn?
“Adn. Nama salah satu surga. Selamat datang di surgaku!” Seorang laki-laki
berseru. Suara Aiden. Aku menoleh, lalu tersenyum ke arah Aiden. Alunan musik
klasik yang menenangkan, dengan kombinasi aroma berbagai macam kopi yang
memabukkan. Benar, tempat ini adalah surga bagi para penggila kopi, sepertiku.
Aku lalu bercerita kepadanya, tentang kecintaanku terhadap kopi. Aiden
mendengarkanku dengan seksama, sekali-kali dia mengangguk-anggukkan kepalanya
sebagai respon. Kemudian aku sadar bahwa aku terlalu banyak bercerita ketika
aku mulai megap-megap, seperti ikan yang mulai kehabisan napas. Ini gila, aku
belum pernah se-antusias ini saat bercerita.
“Oh, ya, satu lagi. Aku benar-benar ingin menjadi seorang barista, Aiden. Ya,
sepertimu,” Selanjutnya aku berhenti berbicara, tenggorokanku seperti terlilit
sekarang.
Perhatianku teralih pada kopi panas di depanku. Kupejamkan mataku,
membiarkan indra perasaku mengambil alih hal ini. Cuping hidungku mengembang,
menghirup dalam-dalam kepulan asap yang mengepul dari cangkirnya. Merasakan
aroma khasnya mengontaminasi udara di sekitar hidungku. Ini espresso, aku hafal
aromanya.
Aku kembali membuka mata ketika suara Aiden sampai di telingaku. “Kamu bisa
menjadi barista, Lillit,” katanya penuh teka-teki. Keningku berlipat, tidak
mengerti.
“Ikut aku.” Setelah mengatakan itu, Aiden berjalan meninggalkan kursinya menuju
meja panjang di dekat plat besar. Tempat itu nyaris membuatku melompat saking
gembiranya. Bayangkan, tempat keramat itu —Meja barista!
—
Aku memerhatikannya, kedua tangan Aiden yang menari
bersama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam
perkakas di meja panjang itu.
Di tangan kirinya, tergenggam cangkir putih yang sepertiga dari isinya berisi
kopi. Aku yakin sekali, Aiden akan membuat latte art, proses yang paling
kusuka. Tapi ternyata dugaanku salah, Aiden menyerahkan cangkir itu kepadaku.
Aku menatapnya tak mengerti, namun Aiden hanya mengangkat sebelah alisnya.
“Hari ini, aku menantangmu untuk membuat latte art,” katanya.
Mataku berpendar-pendar, seolah sebuah semangat baru telah disuntikkan ke dalam
darahku. Aku menerima tantangan itu, setidaknya aku akan membuktikan pada
Aiden, aku juga layak menjadi seorang barista.
—
Otakku kembali memutar kejadian beberapa menit yang lalu, ketika Aiden
menonton aksiku membuat latte art. Awalnya aku kebingungan, berhadapan langsung
dengan kopi dan foam membuatku sulit berpikir. Yang kupikirkan saat itu
hanyalah, bagaimana aku bisa memberikan seni pada kopi yang masih polos itu.
Saat ini, di hadapanku terdapat karya latte art perdanaku. Latte art yang
sederhana—berbentuk hati yang apik. Rasanya, aku ingin memuseumkan kopi itu
sekarang juga.
Aku masih mengingat betul kata-kata Aiden yang rasanya patut untuk
kugarisbawahi. Secara tidak langsung, Aiden telah memberiku semangat saat
mengatakannya, “Kamu tahu? Ketika kamu sedang bernyanyi, maka kamu telah
menjadi seorang penyanyi. Dan ketika kamu sedang meramu kopi dan membuat latte
art di atasnya, kamu telah menjadi seorang barista.”
Kejadian ini seperti menarikku kembali ke realita. Membuatku sadar bahwa ini
bukanlah ruang maya, karena semua ini nyata. Aku sedang tidak bermain imajinasi
ketika aku berkenalan dengan Aiden, meramu kopi bersamanya, dan membuat latte
art saat larut malam—semua ini nyata.
Dia Aiden, orang yang baru saja mengenalku dan percaya dengan mimpiku,
mendukungku untuk terus meraih mimpi itu. Menjadi seorang barista, ini yang
kuimpikan sejak dulu. Ayah, Ibu, Aiden telah membuktikan bahwa aku bisa menjadi
seorang barista sekalipun aku wanita. Kalau begitu, bukankah dia hebat, Ayah,
Ibu? Bukankah Aiden hebat?
Gresik, 15 Oktober 2013—10:29
—Selesai—